Sabtu, 25 April 2015

“SANG LASKAR PENAMBANG PASIR” oleh Mamiek Zulfiah




“SANG LASKAR PENAMBANG PASIR”

Mamiek Zulfiah
Guru IPS SMP Negeri 6 Mojokerto
mamikzulfiah@gmail.com

           Pagi ini mendung bergelantungan dilangit Singaraja. Udara dingin masih menyelusup diantara pepohonan kampus “seribu cendela”. Meskipun demikian, tidak menyurutkan langkah saya dan teman-teman calon guru dalam kegiatan “Pengabdian Kampus di Desa” . Dengan semangat bak laskar pasukan berani mati, saya siap berangkat menuju ke desa Kalopaksa di kecamatan Seririt Singaraja.
           Barisan mini bus yang akan membawa kami berjajar rapi diluar kampus. Suara teriakan panitia melalui megapon meminta kami untuk berkelompok sesuai dengan desa tujuan. Masing-masing ketua kelompok melakukan pengecekan akhir sebelum seremonial pemberangkatan. Ketua panitia hanya memberi pengarahan singkat. Sebelum mengucap salam “Ohm,,,,,,Santi,,,,,Santi,,,,,Ohm,,,,,” kata terakhir yang beliau ucapkan “Selamat Mangabdi didesa, Tunjukkan Baktimu Pada Nusa dan Bangsa!!!”. Kata-kata itu membuatku miris. Terbersik didalam hatiku, “mampukan aku?”. Tapi mungkin bagi teman-teman lain, kata-kata itu adalah sebuah sangkakala penebar semangat.
           Satu per-satu besi bermesin itu  berangkat kedesa tujuan. Kini,  giliran kendaraan yang kutumpangi meluncur perlahan.   Sejenak terpikir  oleh ku, desa Kalopaksa, sebuah desa yang terdekat dari kota Singaraja. Jaraknya hanya 12 km dari kampus kami. Sebuah perjalanan yang tidak melelahkan, pikirku. Siluet-siluet rencana yang akan aku lakukan mengalir dibenakku. Ternyata benar dugaanku, belum habis lamunan itu, sang besi pengangkut kami talah berhenti tepat didepan kantor desa Kalopaksa. Seketika itu buyar semua yang bermain-main dikepalaku.
           Pak Made Wirata, ketua kelompok yang kami pilih, masuk lebih dulu kekantor desa. Didalam, sudah dipersiapkan tempat dan acara penyambutan untuk kami. Kaur Pemerintahan desa sebagai pemandu kami. Kepala desa Kalopaksa menyalami kami bertiga belas.  Meskipun singkat, suasana hangat dan akrab begitu terasa dalam acara “Selamat Datang dan Selamat Bertugas Didesa Kami”. Itulah kalimat yang terpampang dispanduk yang terikat didinding depan ruangan acara. Kami juga langsung diperkenalkan kepada kepala sekolah dimana tempat akan akan mengajar.
           Saya pikir, kami akan mengajar di SMP atau SMA seperti informasi dari pihak kampus. Tapi kenyataannya kami bertigabelas ditugaskan mengajar disekolah Dasar. Karena  didesa Kalopaksa ada tiga Sekolah Dasar yang kekurangan tenaga pengajar. Sekolah itulah yang Pak Kades pilihkan sebagai “Candradimuka” kami bertigabelas. Menurut informasi yang kami dapatkan  lokasi tiga sekolah tersebut berjauhan. Untuk pembagian tugas mengajar di masing-masing sekolah, diserahkan pada Pak Wirata, panggilan ketua kelompok kami.
           Acara seremonial usai. Pak Kaur Pemerintahan langsung mengajak kami berkeliling untuk menunjukkan lokasi sekolah-sekolah yang dimaksud dengan menggunakan sepeda motor pinjaman dari pegawai kantor desa.  Karena jumlah sepada motornya terbatas kami saling berboncengan. Bahkan ada yang berboncengan tiga. Awalnya kami sempat bingung. Tapi kata salah seorang pegawai kantor desa, pemandangan yang seperti itu adalah biasa bagi warga desa.  Pak Kades yang saat itu melihat kami, hanya senyum-senyum saja. Dalam safari keliling, kami juga didampingi oleh kepala sekolah yang bersangkutan.
           Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah SDN Kalopaksa I dan II. Nampak sekilas dari luar kondisi sekolah tersebut seperti SD kebanyakan yang ada didesa-desa. Tujuan yang selanjutnya adalah sekolah yang ketiga. Dalam perjalanan, Pak Kaur Pemerintahan tersenyum sembari nyeletuk “hehehe,,,,,adik-adik jangan kaget yaa,,, kita akan menuju ke “sorga”.       Sepanjang perjalanan menggunakan motor kami disuguhi oleh pemandangan yang indah. Jalan yang katanya menuju sorga, adalah perbukitan yang sisi kiri dan kanannya adalah bebatuan besar yang ditumbuhi oleh tanaman semak. Hawa sejuk segar mulai terasa. Tiba-tiba pak Kaur berteriak. “ Awas,,,,,,!!!!!, cewek-cewek harus berpagangan erat,,,,, sambil beliau menengok kebelakang. Aku sempat kaget. Kenapa disuruh pengangan yang erat?. Padahal jalanan hanya tanjakan biasa layaknya jalan menuju kepegunungan. Dan belum terjawab pertanyaanku, Komang Suwartini yang memboncengku juga teriak. “Mbaaak,,,,, aku takut!!!”. Tanpa kusadari ternyata kabut tebal menghalangi pandangan. Jalan yang kami lalui sudah tidak mulus lagi. Jalannya bergeronjal, jalan makadam. Batunya besar-besar, agak licin. Entah karena hujan atau sisa-sisa embun. Komang berkata lagi, “mbak, ken-ken nich?, tangan  yang-e (tanganku) kaku”. Sepenggal bahasa Bali ia gunakan, karena ia tau aku bukan orang Bali. Aku takut kita berdua jatuh mbak,,,. “Terus aja Mang, hati-hati, nggak pa-pa, pelan-pelan aja”, kataku untuk menenangkan Komang. “Jika takut, kita berhenti aj Mang”, nggak usah ikut naik. Kita tunggu aj disini”. Aku dan Komang akhirnya berhenti, yang lain pun ikutan berhenti. Pak Wirata bertanya “ken-kenan geg (kenapa non)?”, Komangpun jawab, tyang (aku) takut pak” . Pak Kepsek SD yang akan kami datangi mengatakan, “bentar lagi nyampe”. Akhirnya kami bertukar boncengan. Aku diboneng pak Wirate, Komang dibonceng Sulingga, teman kami yang lain.
           Setelah menyebengi sungai yang airnya kering, kami sampai pada sekolah yang dituju. Sungguh, pemandangan yang sangat memprihatinkan. Kondisinya, seratus delapan puluh derajat, dari dua sekolah sebelumnya yang kami saksikan. “Beginilah keadaan sekolah kami” kata Pak Kepala Sekolah. “Ayo masuk bentar, sambil istirahat”. Dalam hati ku membatin, “astagfirullah, ditempat yang dikenal orang manca negara kok masih ada sekolah yang seperti ini,,,,,???, “apakah pemerintah nggak tau????”. 
           Saat kami masuk, anak-anak yang sedang belajar dikelas langsung berhamburan menyambut kami. Senyum mengembang di wajah-wajah polos mereka.  Ada yang tepuk tangan, ada yang berkata, “horeeee”, ada saling berpandangan, entah apa yang ada dibenak mereka. Dalam satu sekolah jumlah mereka tergolong sedikit. Menurut informasi yang kami tau, yang sekolah di SD tersebut hanya anak yang ada didusun Sorga. Dusun Sorga adalah dusun yang paling jauh dan agak terisolir dari dusun yang lain didesa Kalopaksa. Karena anak-anak sudah berkumpul diluar, Pak Kepsek langsung memperkenalkan kami pada musid-muridnya. “Anak-anak, mulai besok, kalian akan diajar oleh bapak dan ibu guru dari Singaraja”. Tanpa dikomando, mereka langsung bertepuk tangan. Kemudian mereka disuruh masuk kembali untuk melanjutkan pelajaran. Hanya sebentar kami ditempat itu. Setelah bersalman dengan dua pengajar kami berpamitan untuk kembali ke Mes  yang dipersiapkan untuk kami.
           Sampai di Mes, waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 WITA. Kemudian kami merapikan perbekalan masing-masing. Pak Wirata, ketua kelompok kami memberikan waktu dua jam untuk makan, santai dan beristirahat sebelum briffing dimulai. Pembagian tempat tugas sudah kami sepakati bersama. Aku dan empat orang teman lain kebagian untuk mengajar didusun Sorga. Malam harinya kami mempersiapkan rencana mengajar untuk besok.
           Kami berlima yang bertugas didusun Sorga berangkat lebih awal. Perjalan dari Mes ke dusun Sorga butuh waktu satu setengah jam perjalanan. Sampai  disekolah, kami langsung beroodinasi dengan Pak Kasek. Kami berlima mengajar dikalas 1 sampai kelas 5. Kelas 6 diajar oleh guru SD setempat. Biasanya, setiap hari untuk dua kelas disatukan dan diajar oleh seorang guru. Jika ada guru yng tidak masuk, Kepsek juga membantu mengajar. Tanpa banyak bicara lagi kami langsung eksen dikelas masing-masing. Saat bel istirahat anak-anak berhamburan untuk keluar. Yang aneh dalam pandangan saya mereka berlarian keluar sekolah sambil membawa ember kecil. Setelah kami tunggu kurang lebih setengah jam mereka datang. Dari kejauhan aku melihat mereka datang satu persatu sambil membawa ember yang diletakkan diatas kepala mereka. Ada pula menjinjing ember. Kagetku bukan alang kepalang, saat mengetahui yang mereka bawa adalah pasir dan batu yang mereka ambil dari sungat kering yang ada didekat sekolah mereka.        Saat kami tanyakan pada seorang guru sekolah tersebut, guru itu menjawab sambil menitikkan air mata. “Begitulah setiap harinya yang dilakukan oleh murid-murid sekolah ini”. “Semua ini kami lakukan atas kesepakatan bersama orang tua murid untuk membangun sekolah kita”. Setelah bel istirahat mereka mengangkut pasir dan batu dari sungai. Kemudian mereka istirahat sebentar lalu pulang tanpa melanjutkan pelajaran lagi. Masing-masing anak setiap harinya mengambil pasir ato batu tiga-lima ember kecil. Heranya lagi saat mereka menambang pasir dengan suka ria. Tidak nampak keengganan di wajah-wajah mereka. Semangat mereka untuk membangun sekolah sangat kuat tertanam didada mereka. Seong murid setelah mengangkat batu kutanya, apa tidak capaek mengambil batu terus???? “sambil tersenyum ia jawab, ten (tidak). Putu pengen punya sekolah yang bagus seperti di TV. Entah sekarang bagaimana kondisi SD dusun Sorga, dan jadi apa Sang Laskar penambang pasir”. Itulah sekelumit pengalamanku mengajar para laskar penambang pasir didusun Sorga desa Kalopaksa kecamatan Seririt Singaraja. Semangat sang pemanbang pasir itulah yang menjadi inspirasi bagiku untuk terus mengabdi didunia pendidikan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Soal Sumatif IPS 9 Semester Genap

  PENILAIAN AKHIR TAHUN MATA PELAJARAN     : Ilmu Pengetahuan Sosial KELAS/SEMESTER    : IX / G enap WAKTU                      : 9 0 ...