“SANG LASKAR PENAMBANG PASIR”
Mamiek Zulfiah
Guru IPS SMP Negeri
6 Mojokerto
mamikzulfiah@gmail.com
Pagi ini mendung bergelantungan
dilangit Singaraja. Udara dingin masih menyelusup diantara pepohonan kampus “seribu cendela”. Meskipun demikian, tidak
menyurutkan langkah saya dan teman-teman calon guru dalam kegiatan “Pengabdian
Kampus di Desa” . Dengan semangat bak laskar pasukan berani mati, saya siap berangkat menuju ke desa
Kalopaksa di kecamatan Seririt Singaraja.
Barisan mini bus yang akan membawa
kami berjajar rapi diluar kampus. Suara teriakan panitia melalui megapon
meminta kami untuk berkelompok sesuai dengan desa tujuan. Masing-masing ketua
kelompok melakukan pengecekan akhir sebelum seremonial pemberangkatan. Ketua
panitia hanya memberi pengarahan singkat. Sebelum mengucap salam “Ohm,,,,,,Santi,,,,,Santi,,,,,Ohm,,,,,” kata
terakhir yang beliau ucapkan “Selamat
Mangabdi didesa, Tunjukkan Baktimu Pada Nusa dan Bangsa!!!”. Kata-kata itu
membuatku miris. Terbersik didalam
hatiku, “mampukan aku?”. Tapi mungkin bagi teman-teman lain, kata-kata itu
adalah sebuah sangkakala penebar semangat.
Satu per-satu besi bermesin itu berangkat kedesa tujuan. Kini, giliran kendaraan yang kutumpangi meluncur
perlahan. Sejenak terpikir oleh ku, desa Kalopaksa, sebuah desa yang
terdekat dari kota Singaraja. Jaraknya hanya 12 km dari kampus kami. Sebuah
perjalanan yang tidak melelahkan, pikirku. Siluet-siluet rencana yang akan aku
lakukan mengalir dibenakku. Ternyata benar dugaanku, belum habis lamunan itu, sang besi pengangkut kami talah berhenti
tepat didepan kantor desa Kalopaksa. Seketika itu buyar semua yang bermain-main
dikepalaku.
Pak Made Wirata, ketua kelompok yang
kami pilih, masuk lebih dulu kekantor desa. Didalam, sudah dipersiapkan tempat
dan acara penyambutan untuk kami. Kaur Pemerintahan desa sebagai pemandu kami. Kepala
desa Kalopaksa menyalami kami bertiga belas.
Meskipun singkat, suasana hangat dan akrab begitu terasa dalam acara “Selamat
Datang dan Selamat Bertugas Didesa Kami”. Itulah kalimat yang terpampang
dispanduk yang terikat didinding depan ruangan acara. Kami juga langsung
diperkenalkan kepada kepala sekolah dimana tempat akan akan mengajar.
Saya pikir, kami akan mengajar di SMP
atau SMA seperti informasi dari pihak kampus. Tapi kenyataannya kami
bertigabelas ditugaskan mengajar disekolah Dasar. Karena didesa Kalopaksa ada tiga Sekolah Dasar yang
kekurangan tenaga pengajar. Sekolah itulah yang Pak Kades pilihkan sebagai
“Candradimuka” kami bertigabelas. Menurut informasi yang kami dapatkan lokasi tiga sekolah tersebut berjauhan. Untuk
pembagian tugas mengajar di masing-masing sekolah, diserahkan pada Pak Wirata,
panggilan ketua kelompok kami.
Acara seremonial usai. Pak Kaur
Pemerintahan langsung mengajak kami berkeliling untuk menunjukkan lokasi sekolah-sekolah
yang dimaksud dengan menggunakan sepeda motor pinjaman dari pegawai kantor
desa. Karena jumlah sepada motornya
terbatas kami saling berboncengan. Bahkan ada yang berboncengan tiga. Awalnya
kami sempat bingung. Tapi kata salah seorang pegawai kantor desa, pemandangan
yang seperti itu adalah biasa bagi warga desa.
Pak Kades yang saat itu melihat kami, hanya senyum-senyum saja. Dalam
safari keliling, kami juga didampingi oleh kepala sekolah yang bersangkutan.
Lokasi pertama yang kami kunjungi
adalah SDN Kalopaksa I dan II. Nampak sekilas dari luar kondisi sekolah
tersebut seperti SD kebanyakan yang ada didesa-desa. Tujuan yang selanjutnya
adalah sekolah yang ketiga. Dalam perjalanan, Pak Kaur Pemerintahan tersenyum
sembari nyeletuk “hehehe,,,,,adik-adik jangan kaget yaa,,, kita akan menuju ke
“sorga”. Sepanjang perjalanan menggunakan
motor kami disuguhi oleh pemandangan yang indah. Jalan yang katanya menuju sorga, adalah perbukitan yang sisi kiri
dan kanannya adalah bebatuan besar yang ditumbuhi oleh tanaman semak. Hawa
sejuk segar mulai terasa. Tiba-tiba pak Kaur berteriak. “ Awas,,,,,,!!!!!,
cewek-cewek harus berpagangan erat,,,,, sambil beliau menengok kebelakang. Aku
sempat kaget. Kenapa disuruh pengangan yang erat?. Padahal jalanan hanya
tanjakan biasa layaknya jalan menuju kepegunungan. Dan belum terjawab
pertanyaanku, Komang Suwartini yang memboncengku juga teriak. “Mbaaak,,,,, aku
takut!!!”. Tanpa kusadari ternyata kabut tebal menghalangi pandangan. Jalan
yang kami lalui sudah tidak mulus lagi. Jalannya bergeronjal, jalan makadam.
Batunya besar-besar, agak licin. Entah karena hujan atau sisa-sisa embun.
Komang berkata lagi, “mbak, ken-ken nich?, tangan yang-e (tanganku) kaku”. Sepenggal bahasa
Bali ia gunakan, karena ia tau aku bukan orang Bali. Aku takut kita berdua
jatuh mbak,,,. “Terus aja Mang, hati-hati, nggak pa-pa, pelan-pelan aja”,
kataku untuk menenangkan Komang. “Jika takut, kita berhenti aj Mang”, nggak
usah ikut naik. Kita tunggu aj disini”. Aku dan Komang akhirnya berhenti, yang
lain pun ikutan berhenti. Pak Wirata bertanya “ken-kenan geg (kenapa non)?”,
Komangpun jawab, tyang (aku) takut pak” . Pak Kepsek SD yang akan kami datangi
mengatakan, “bentar lagi nyampe”. Akhirnya kami bertukar boncengan. Aku
diboneng pak Wirate, Komang dibonceng Sulingga, teman kami yang lain.
Setelah menyebengi sungai yang airnya
kering, kami sampai pada sekolah yang dituju. Sungguh, pemandangan yang sangat
memprihatinkan. Kondisinya, seratus delapan puluh derajat, dari dua sekolah
sebelumnya yang kami saksikan. “Beginilah keadaan sekolah kami” kata Pak Kepala
Sekolah. “Ayo masuk bentar, sambil istirahat”. Dalam hati ku membatin,
“astagfirullah, ditempat yang dikenal orang manca negara kok masih ada sekolah
yang seperti ini,,,,,???, “apakah pemerintah nggak tau????”.
Saat kami masuk, anak-anak yang
sedang belajar dikelas langsung berhamburan menyambut kami. Senyum mengembang
di wajah-wajah polos mereka. Ada yang
tepuk tangan, ada yang berkata, “horeeee”, ada saling berpandangan, entah apa
yang ada dibenak mereka. Dalam satu sekolah jumlah mereka tergolong sedikit.
Menurut informasi yang kami tau, yang sekolah di SD tersebut hanya anak yang
ada didusun Sorga. Dusun Sorga adalah dusun yang paling jauh dan agak terisolir
dari dusun yang lain didesa Kalopaksa. Karena anak-anak sudah berkumpul diluar,
Pak Kepsek langsung memperkenalkan kami pada musid-muridnya. “Anak-anak, mulai
besok, kalian akan diajar oleh bapak dan ibu guru dari Singaraja”. Tanpa
dikomando, mereka langsung bertepuk tangan. Kemudian mereka disuruh masuk kembali
untuk melanjutkan pelajaran. Hanya sebentar kami ditempat itu. Setelah
bersalman dengan dua pengajar kami berpamitan untuk kembali ke Mes yang dipersiapkan untuk kami.
Sampai di Mes, waktu sudah
menunjukkan pukul 12.30 WITA. Kemudian kami merapikan perbekalan masing-masing.
Pak Wirata, ketua kelompok kami memberikan waktu dua jam untuk makan, santai
dan beristirahat sebelum briffing dimulai. Pembagian tempat tugas sudah kami
sepakati bersama. Aku dan empat orang teman lain kebagian untuk mengajar didusun
Sorga. Malam harinya kami mempersiapkan rencana mengajar untuk besok.
Kami berlima yang bertugas didusun
Sorga berangkat lebih awal. Perjalan dari Mes ke dusun Sorga butuh waktu satu
setengah jam perjalanan. Sampai
disekolah, kami langsung beroodinasi dengan Pak Kasek. Kami berlima
mengajar dikalas 1 sampai kelas 5. Kelas 6 diajar oleh guru SD setempat.
Biasanya, setiap hari untuk dua kelas disatukan dan diajar oleh seorang guru.
Jika ada guru yng tidak masuk, Kepsek juga membantu mengajar. Tanpa banyak
bicara lagi kami langsung eksen dikelas masing-masing. Saat bel istirahat
anak-anak berhamburan untuk keluar. Yang aneh dalam pandangan saya mereka
berlarian keluar sekolah sambil membawa ember kecil. Setelah kami tunggu kurang
lebih setengah jam mereka datang. Dari kejauhan aku melihat mereka datang satu
persatu sambil membawa ember yang diletakkan diatas kepala mereka. Ada pula
menjinjing ember. Kagetku bukan alang kepalang, saat mengetahui yang mereka
bawa adalah pasir dan batu yang mereka ambil dari sungat kering yang ada
didekat sekolah mereka. Saat kami
tanyakan pada seorang guru sekolah tersebut, guru itu menjawab sambil
menitikkan air mata. “Begitulah setiap harinya yang dilakukan oleh murid-murid
sekolah ini”. “Semua ini kami lakukan atas kesepakatan bersama orang tua murid
untuk membangun sekolah kita”. Setelah bel istirahat mereka mengangkut pasir
dan batu dari sungai. Kemudian mereka istirahat sebentar lalu pulang tanpa
melanjutkan pelajaran lagi. Masing-masing anak setiap harinya mengambil pasir
ato batu tiga-lima ember kecil. Heranya lagi saat mereka menambang pasir dengan
suka ria. Tidak nampak keengganan di wajah-wajah mereka. Semangat mereka untuk
membangun sekolah sangat kuat tertanam didada mereka. Seong murid setelah
mengangkat batu kutanya, apa tidak capaek mengambil batu terus???? “sambil
tersenyum ia jawab, ten (tidak). Putu pengen punya sekolah yang bagus seperti
di TV. Entah sekarang bagaimana kondisi SD dusun Sorga, dan jadi apa Sang
Laskar penambang pasir”. Itulah sekelumit pengalamanku mengajar para laskar
penambang pasir didusun Sorga desa Kalopaksa kecamatan Seririt Singaraja.
Semangat sang pemanbang pasir itulah yang menjadi inspirasi bagiku untuk terus
mengabdi didunia pendidikan.